Belakangan ini, nama Zulkifli Hasan kembali menjadi sorotan tajam. Beliau yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan dituding oleh sejumlah pihak sebagai biang kerok kerusakan hutan di Sumatera, yang pada gilirannya dituding menjadi penyebab meningkatnya bencana banjir dan longsor. Tudingan ini dipicu oleh dugaan bahwa izin penebangan besar‑besaran di masa jabatannya telah membuka pintu bagi deforestasi luas.
Asal Tuduhan: Izin Hutan dan Defisit Lingkungan
Isu ini muncul di tengah maraknya bencana banjir dan longsor yang melanda beberapa wilayah di Sumatera. Akun media sosial dan warganet mulai menautkan tragedi itu ke kebijakan kehutanan di masa lalu — tepatnya ketika Zulkifli menjabat sebagai Menteri Kehutanan periode 2009–2014. Tuduhan utamanya: bahwa izin pembukaan lahan dan konversi kawasan hutan saat itu menyebabkan hilangnya daya serap air alami, sehingga ketika hujan lebat terjadi, wilayah yang seharusnya terlindungi malah mudah tergerus.
Bahkan, potongan video lama yang memperlihatkan aktor internasional dan pegiat lingkungan Harrison Ford menegur Zulkifli soal kerusakan hutan sempat viral lagi terus menguatkan narasi bahwa kebijakan masa lalu berdampak pada krisis saat ini.
Tak hanya warganet ada juga pejabat daerah yang secara terbuka menyebut izin lahannya terkait dengan kebijakan lama sebagai bagian penyebab kerusakan, dan pada akhirnya menjadi faktor risiko banjir. Tuduhan ini kemudian menyebar luas, membuat opini publik makin keras terhadap peran Zulkifli dalam isu lingkungan.
Reaksi Zulkifli Hasan dan Pendukung: Bantahan Keras
Menanggapi tudingan tersebut, Zulkifli Hasan angkat bicara ia membantah keras bahwa kebijakannya bisa disalahkan atas semua bencana. Dalam sebuah wawancara, ia mempertanyakan logika yang mengaitkan banjir terkini dengan izin yang diberikan lebih dari satu dekade lalu. “Kalau Sumatera banjir, rusak (karena) Zulkifli Hasan, Kalimantan rusak juga Zulkifli Hasan hebat sekali saya kalau begitu,” ujarnya sinis.
Menurut Zulkifli, kebijakan pembukaan lahan dulu dilakukan untuk menjawab kebutuhan nasional termasuk soal pangan dan kebutuhan ekonomi bagi jutaan warga. Di sisi lain, ia menyebut bahwa tudingan terhadap dirinya banyak bersumber dari “potongan informasi” tanpa konteks yang utuh.
Partainya, Partai Amanat Nasional (PAN), juga angkat suara. Mereka menilai tudingan itu sebagai fitnah belaka, tidak berdasar, dan muncul tanpa kajian ilmiah. Menurut PAN, mengaitkan banjir dan longsor 2025 dengan kebijakan kehutanan 2009–2014 adalah hal yang tidak relevan secara waktu maupun sebab dan lebih menyerupai pengalihan isu politik.
Kenapa Banyak Orang Bisa Percaya Tuduhan Ini?
Ketika bencana terjadi, masyarakat cenderung mencari penyebab dan dalam kondisi panik atau kehilangan, kemarahan sering dialamatkan ke figur representatif, termasuk politisi. Beberapa faktor yang membuat tudingan ini mudah menyebar:
- Adanya rekaman lama dan bukti sejarah (akses lahan, deforestasi) yang dapat dengan mudah dikaitkan ulang.
- Rasa frustrasi warga atas dampak bencana seperti rumah terendam, korban, infrastruktur rusak mencari kambing hitam agar ada pihak yang “bertanggung jawab”.
- Media sosial dan algoritma berita sering menekankan narasi sebab‑akibat sederhana: pembukaan lahan → deforestasi → banjir. Dalam kondisi informasi minim, narasi tersebut bisa diterima lebih cepat.
Realitas dan Kompleksitas: Tidak Mudah Menyalahkan Satu Orang
Namun, banyak pakar, serta pendukung Zulkifli, menekankan bahwa penyebab banjir dan longsor sifatnya kompleks melibatkan faktor alam: curah hujan ekstrem, perubahan iklim, karakteristik tanah, manajemen infrastruktur, drainase, hingga praktik perladangan lokal. Menyalahkan hanya satu individu tanpa kajian ilmiah bisa jadi terlalu simplistis.
Zulkifli sendiri mengaku bahwa di masa jabatannya sudah ada upaya bahkan kebijakan moratorium atau konversi untuk mengendalikan deforestasi, sesuai tuntutan kebutuhan nasional dan regulasi internasional.
Tuduhan atau Skema Kampanye?
Tudingan bahwa bencana banjir dan longsor di Sumatera tahun 2025 adalah akibat langsung kebijakan izin lahan oleh Zulkifli Hasan memang mendapatkan perhatian besar dan menyulut kemarahan masyarakat yang terdampak. Tapi tanggapan dari Zulkifli dan PAN memperingatkan agar publik tak terburu‑buru menyalahkan satu orang tanpa data komprehensif.
Kasus ini menggarisbawahi betapa rapuhnya narasi di era media sosial: informasi lama atau parsial bisa berubah menjadi tuduhan keras. Sebelum mengambil kesimpulan, penting bagi kita meminta data: curah hujan, kondisi hutan, izin lahan, hingga riwayat pengelolaan kawasan agar tuduhan tidak jadi fitnah.